JAKARTA - Perkembangan industri otomotif dunia kini sedang bergerak ke arah yang tidak terduga. Mantan CEO Stellantis, Carlos Tavares, mengungkapkan pandangan tajamnya tentang masa depan sektor ini.
Ia memperingatkan bahwa produsen mobil asal China tidak lagi sekadar berambisi menguasai pasar domestik atau regional, tetapi kini menargetkan dominasi global—dan menurutnya, hal tersebut bukanlah hal yang mustahil.
Dalam wawancara yang dikutip dari laman Carscoops, Tavares menilai bahwa pabrikan China bahkan berpotensi menjadi “penyelamat” industri otomotif Eropa yang kini menghadapi tekanan berat akibat transisi menuju elektrifikasi. Nama-nama besar seperti BYD dan Geely, kata Tavares, tidak hanya akan bertahan, tetapi bisa menjadi pemain utama terakhir di industri otomotif dunia.
Pabrikan China Dinilai Punya Peluang Emas
Menurut Tavares, dalam kurun waktu 10–15 tahun ke depan, merek-merek otomotif China berpotensi mengambil alih peran penting di pasar Eropa. Ia menggambarkan kemungkinan skenario di masa depan di mana industri otomotif Barat mengalami krisis besar.
“Ada banyak peluang bagus yang terbuka bagi pihak China. Suatu hari nanti, ketika pabrikan Barat benar-benar kesulitan, dengan pabrik hampir tutup dan protes di jalan, produsen China akan datang dan berkata, ‘Saya ambil alih dan pertahankan pekerjaan mereka.’ Dan mereka akan dianggap sebagai penyelamat,” ujar Tavares.
Prediksi ini bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, produsen mobil listrik asal China menunjukkan kemajuan signifikan baik dalam hal teknologi, efisiensi produksi, maupun harga jual. BYD, misalnya, kini telah menyalip Tesla sebagai salah satu pemasok kendaraan listrik terbesar di dunia, sementara Geely terus memperluas portofolio globalnya melalui merek-merek seperti Volvo, Polestar, dan Lotus.
Dari Stellantis ke Pengamat Otomotif Dunia
Sejak mengundurkan diri dari Stellantis hampir setahun lalu, Carlos Tavares kini lebih banyak menghabiskan waktu menulis memoar dan menghadiri wawancara dengan berbagai media. Meski sudah tidak lagi memimpin, pandangan dan analisanya tetap menjadi rujukan penting bagi pengamat industri otomotif global.
Sebelum mundur, Tavares dikenal sebagai sosok yang berani mengambil keputusan besar. Salah satu langkah strategisnya adalah mengatur pembelian 20 persen saham Leapmotor, produsen mobil listrik asal China, yang dilakukan Stellantis untuk memperkuat ekspansi globalnya.
Namun, dalam pandangannya yang sekarang, Tavares menyadari bahwa kolaborasi seperti itu bisa berbalik menjadi ancaman. “Kemitraan dengan produsen China bisa mempercepat globalisasi mereka, tapi juga bisa membuat perusahaan Barat kehilangan posisi tawarnya,” ungkapnya.
Kritik Terhadap Kebijakan Elektrifikasi Eropa
Selain menyoroti kebangkitan produsen otomotif China, Tavares juga menyampaikan kritik keras terhadap kebijakan Uni Eropa (UE) yang melarang penjualan mobil bermesin bensin dan diesel mulai tahun 2035. Menurutnya, kebijakan itu membuat pabrikan Eropa terpaksa berinvestasi besar-besaran secara prematur dalam teknologi kendaraan listrik tanpa kepastian keuntungan yang sebanding.
Ia memperkirakan bahwa lebih dari 100 miliar Euro (sekitar Rp1,9 kuadriliun) telah dikeluarkan oleh berbagai produsen mobil untuk mendukung transisi elektrifikasi. Namun, Tavares pesimistis bahwa investasi sebesar itu akan terbayar.
“Siapa yang akan bertanggung jawab atas 100 miliar Euro investasi yang tidak akan terpakai? Tidak ada,” tegasnya.
Tavares juga memprediksi bahwa kebijakan tersebut pada akhirnya akan dibatalkan atau direvisi, seiring tekanan ekonomi dan realitas industri yang semakin kompleks.
Prediksi: Hanya Segelintir Merek yang Akan Bertahan
Dalam pandangannya, masa depan industri otomotif global akan dikuasai hanya oleh lima atau enam merek besar. Dari nama-nama tersebut, ia menyebut Toyota, Hyundai, BYD, dan kemungkinan Geely sebagai pabrikan yang berpotensi bertahan menghadapi perubahan besar industri otomotif.
Sementara merek-merek lain, kata Tavares, akan terserap ke dalam konglomerasi global atau bahkan menghilang karena tidak mampu menanggung beban transisi teknologi yang begitu mahal.
Menariknya, Tavares tidak menyebut Stellantis, perusahaan yang dulu dipimpinnya dan menaungi berbagai merek ternama seperti Peugeot, Fiat, Jeep, Maserati, Opel, dan Alfa Romeo, sebagai salah satu merek yang diperkirakan masih bertahan di masa depan. Hal ini menunjukkan betapa kerasnya persaingan dan perubahan yang akan dihadapi industri otomotif dalam dekade mendatang.
China Menuju Dominasi Otomotif Dunia
Kekhawatiran Tavares tentang dominasi China sebenarnya sejalan dengan tren yang sudah terlihat beberapa tahun terakhir. Negara tersebut kini memimpin produksi kendaraan listrik dunia, sekaligus menjadi pusat manufaktur komponen baterai dan teknologi EV.
Selain BYD dan Geely, merek seperti NIO, Xpeng, dan Changan juga terus memperluas jangkauan internasional mereka. Dengan dukungan kuat dari pemerintah dan kemampuan produksi yang efisien, China bergerak cepat menembus pasar Eropa, Asia Tenggara, dan bahkan Amerika Latin.
Bahkan, beberapa analis memperkirakan bahwa pabrikan China akan menguasai 30–40 persen pasar mobil listrik global dalam 10 tahun ke depan, didorong oleh inovasi dan biaya produksi yang rendah.
Industri Otomotif Eropa di Persimpangan Jalan
Pernyataan Tavares mempertegas kekhawatiran bahwa Eropa berisiko kehilangan keunggulan industrinya jika tidak segera beradaptasi. Kebijakan transisi energi yang ambisius, meski penting untuk keberlanjutan lingkungan, bisa menjadi bumerang jika tidak diimbangi dengan strategi ekonomi dan teknologi yang realistis.
Dalam situasi ini, langkah produsen China untuk memperluas operasi ke luar negeri dapat dianggap sebagai peluang sekaligus ancaman. Mereka bisa membantu mempertahankan lapangan kerja dan menghidupkan kembali industri yang lesu, tetapi di sisi lain, juga dapat menggeser dominasi merek-merek legendaris Eropa yang telah berdiri selama puluhan tahun.
Melalui pandangannya yang tajam, Carlos Tavares menyampaikan pesan penting: industri otomotif global sedang menghadapi titik balik sejarah. Dengan kebangkitan pabrikan China dan tekanan regulasi di Eropa, lanskap persaingan akan berubah drastis.