Dua Pilar Strategis Capai Swasembada Energi Nasional

Kamis, 06 November 2025 | 09:18:39 WIB
Dua Pilar Strategis Capai Swasembada Energi Nasional

JAKARTA - Pemerintah Indonesia tengah dihadapkan pada agenda besar: mencapai swasembada energi. 

Dalam diskusi kebijakan publik terbaru, David B. W. Pandie, pakar kebijakan publik dari Universitas Nusa Cendana, menegaskan adanya dua kunci utama yang wajib dikuatkan agar target kemandirian energi dapat tercapai secara realistis. 

Dua pilar ini bukan sekadar ide semata, melainkan fondasi strategis yang harus dijalankan dengan tepat oleh pemerintah, perguruan tinggi, dan elemen masyarakat.

Pilar Pertama: Edukasi Publik dan Reforma Subsidi Energi

Menurut Pandie, langkah pertama yang esensial adalah memperkuat edukasi publik mengenai kondisi energi nasional dan realitas di lapangan. 

Ia menjelaskan bahwa Indonesia tengah menghadapi krisis impor energi dan kebocoran subsidi yang signifikan — kondisi yang memerlukan pemahaman publik agar konsumsi energi dan mekanisme subsidi menjadi tepat sasaran.

“Pertama, edukasi soal kondisi Indonesia saat ini yang tengah mengalami krisis akibat impor energi dan kebocoran subsidi energi. Sehingga masyarakat bisa menggunakan energi dengan bijak dan subsidi yang diberikan bisa tepat sasaran.” 

Edukasi ini mencakup pemahaman atas esensi swasembada energi, yang menurut definisi berarti kemampuan nasional memproduksi dan memenuhi kebutuhan energinya sendiri tanpa terlalu bergantung pada pasokan dari luar. 

Pandie menekankan bahwa masyarakat yang sadar akan kondisi energi akan menjadi bagian aktif dalam perubahan — tidak hanya sebagai pengguna, tetapi sebagai pelaku yang mendukung kebijakan nasional. 

Tanpa dukungan pemahaman publik ini, upaya pemerintah dalam reformasi subsidi dan transisi energi akan berjalan berat di medan sosial.

Pilar Kedua: Riset Perguruan Tinggi dan Teknologi EBT Lokal

Kunci kedua yang disoroti Pandie adalah penguatan riset dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) oleh perguruan tinggi dan pusat riset nasional. Ia menegaskan bahwa pembangunan manusia — terutama tenaga ahli yang memahami teknologi EBT sesuai kondisi lokal — menjadi prasyarat agar transisi energi bisa cepat dan tepat.

“Ilmu kita harus kuat untuk hasilkan EBT sesuai kondisi lokal. Sumber daya manusia dulu yang diperkuat, jadi peran teknologi penting untuk mendorong energi terbarukan lebih cepat. Kalau tidak, transisi akan lama dan tidak berujung.” 

Dengan demikian, pemerintah perlu menggandeng perguruan tinggi untuk mempercepat inovasi, pemanfaatan sumber daya lokal, serta pengembangan teknologi yang sesuai karakteristik Indonesia. 

Teknologi yang tepat akan membantu menekan ketergantungan terhadap energi fosil dan memperkuat ketahanan energi di berbagai wilayah — termasuk kawasan terluar dan daerah yang selama ini kurang terlayani.

Mengapa Dua Pilar Ini Menjadi Kritis Sekarang?

Pandie menyebut bahwa meski kebijakan energi nasional telah bergerak ke arah yang benar, desain implementasi tahapannya masih sangat diperlukan. 

Ia memperingatkan bahwa tanpa strategi yang jelas dan komunikasi publik yang transparan, target ambisius bisa jadi hanya wacana. Kedua pilar tersebut menggambarkan dua sisi dari strategi: satu sisi sosial-kultural (edukasi dan kesadaran publik), sisi lain teknis dan institusional (riset, teknologi, perguruan tinggi).

Kebutuhan dua pilar ini menjadi semakin mendesak ketika melihat tantangan besar yang dihadapi Indonesia: impor energi yang masih tinggi, subsidi yang tidak selalu tepat sasaran, dan pemanfaatan EBT yang belum optimal. 

Tanpa kerangka kerja yang kuat di masyarakat dan teknologi lokal yang mampu menjawab karakteristik nasional, target swasembada energi dapat mengalami hambatan kronis.

Implikasi Kebijakan dan Langkah Ke Depan

Dari perspektif kebijakan, pemerintah harus meluncurkan program edukasi yang menyeluruh dan mudah diakses oleh masyarakat, termasuk kota maupun desa. Edukasi ini bukan hanya soal “hemat energi”, tetapi juga soal memahami arti kemandirian energi nasional dan bagaimana setiap individu berkontribusi. 

Subsidi energi perlu diarahkan ulang sehingga tidak hanya meringankan biaya, tetapi juga mendukung mekanisme yang efisien dan tepat sasaran.

Di sisi riset dan teknologi, kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri harus diperkuat. Pemerintah dapat memberikan insentif riset EBT lokal, mengintegrasikan hasil inovasi ke dalam skema energi nasional, dan memastikan adopsi teknologi yang relevan di lapangan. 

Dengan demikian, bukan hanya impor yang ditekan, tetapi teknologi dalam negeri tumbuh kuat dan siap mendukung swasembada energi.

Menjadi jelas bahwa mewujudkan swasembada energi bukan sekadar soal memperbanyak pembangkit listrik atau menggali sumber energi baru. 

Menurut David B. W. Pandie, dua pilar utama—edukasi publik yang efektif dan penguatan riset serta teknologi EBT lokal—menjadi jalan strategis bagi pemerintah untuk mengubah arah energi nasional secara fundamental. Tanpa keduanya, target kemandirian energi bisa tertunda atau hanya settengah jalan.

Dengan memperkuat kedua aspek ini secara simultan, Indonesia punya peluang lebih besar untuk tidak hanya meraih swasembada energi, tetapi juga mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan, adil, dan sesuai dengan kondisi lokal. 

Pemerintah, masyarakat, dan perguruan tinggi semuanya punya peran—dan sekarang adalah momentum untuk bergerak bersama.

Terkini

4 Destinasi Alam Menakjubkan di Surat Thani Thailand

Kamis, 06 November 2025 | 11:32:34 WIB

Museum Agung Mesir Resmi Dibuka Dekat Piramida Giza

Kamis, 06 November 2025 | 11:32:29 WIB

Kapal Pesiar Halal Pertama Dunia Mulai Berlayar Malaysia

Kamis, 06 November 2025 | 11:32:21 WIB

Rahasia Bumbu Lodho Ayam Kuning Khas Jawa Timur

Kamis, 06 November 2025 | 11:32:15 WIB