JAKARTA - Pemerintah Indonesia membuka kelonggaran impor sapi hidup demi mendukung proyek Makan Bergizi Gratis (MBG) yang membutuhkan pasokan susu dan daging dalam jumlah besar. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), menegaskan bahwa siapa saja diperbolehkan mengimpor sapi hidup maupun sapi bakalan hingga Desember 2025, baik untuk kebutuhan pedaging, perah, maupun pengembangan ternak.
“Kalau kita enggak mampu, maka dipersilakan siapapun yang ingin untuk membeli yang sapi betina,” kata Zulhas saat ditemui di kantor Kemenko Pangan.
Tujuan Kelonggaran: Mendukung MBG dan Peternakan Nasional
Zulhas menjelaskan, kebijakan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri, terutama bagi program MBG, sekaligus mendorong nilai tambah bagi peternak. Dengan mendatangkan sapi bakalan, peternak lokal bisa menggemukkan, memerah, dan mengembangbiakkan hewan, sehingga pada akhirnya Indonesia tidak perlu selalu mengimpor sapi siap potong.
Meski demikian, Zulhas menegaskan bahwa kuota impor sapi hidup tetap ada, namun pemerintah memberi kelonggaran agar proses impor lebih fleksibel. “Ada, bisa ada, tapi kita longgarin,” ujar mantan Menteri Perdagangan tersebut.
Proses impor dapat dilakukan dengan mengajukan jumlah yang dibutuhkan dan mengirimkan surat permohonan ke kementerian teknis. Mengenai jumlah yang diperbolehkan, Zulhas tidak merinci angka spesifik, namun menegaskan bahwa bisa dilakukan sesuai kebutuhan, mulai dari 100.000 hingga 200.000 ekor, baik untuk penggemukan, perah, maupun breeding.
Dampak Ekonomi dan Pemberdayaan Peternak
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menambahkan bahwa keputusan ini diambil untuk memastikan perputaran ekonomi di dalam negeri tetap berjalan.
“Pak Menko [Pangan] itu arahannya Presiden ingin mengembangkan sapinya itu sapi hidup. Jadi bukan daging langsung yang diimpor, tetapi sapi hidupnya. Soalnya kalau nggak, nanti enggak berkembang [ekonomi nasional]. Karena ekonomi kita itu berkembang dari ada yang ngarit, ngasih hijauan, ngasih pakan,” jelas Arief seusai rapat koordinasi terbatas (rakortas).
Arief menambahkan, hingga akhir tahun 2025, diperkirakan akan ada sekitar 300.000 ekor sapi — baik perah maupun bakalan — yang diimpor dari berbagai negara. Data rinci akan dipublikasikan berdasarkan hasil risalah rakortas.
Lebih lanjut, sapi impor ini nantinya akan dikelola oleh Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes), sehingga masing-masing desa bisa memperoleh keuntungan dari hasil penggemukan dan perah sapi. Arief memberi contoh, sapi yang dibeli seharga Rp3 juta berpotensi menghasilkan Rp15–20 juta dalam kurun 3–5 bulan, sehingga petani mendapatkan tambahan pendapatan.
Strategi Kurangi Impor Daging
Seiring dengan kebijakan kelonggaran impor sapi hidup, pemerintah juga berencana mengurangi impor daging sapi. Namun, jumlah pasti pengurangannya masih akan dibahas lebih lanjut. Tujuannya agar ketergantungan pada daging impor berkurang dan peternak lokal tetap mendapatkan manfaat ekonomi.
Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengungkapkan bahwa hingga kini telah terimpor 40.500 ekor sapi dari target 150.000 ekor sapi perah dan pedaging. Langkah ini dilakukan untuk menggenjot produksi susu dalam negeri bagi kebutuhan program MBG yang digagas Presiden Prabowo Subianto.
“Kami laporkan sudah ada investasi masuk 11.500 sapi perah untuk kebutuhan susu dan 29.000 ekor investasi sapi pedaging untuk daging sapi potong,” kata Sudaryono dalam rapat bersama Komisi IV DPR, Selasa (16/9/2025).
Menarik Investor, Tidak Gunakan APBN
Pemerintah menekankan bahwa pembelian sapi tidak menggunakan APBN, melainkan mendorong masuknya investor baik domestik maupun internasional. Hal ini dipandang menarik karena adanya emerging market MBG, salah satu menu utama adalah susu bergizi.
“Kenapa investasi ini dipandang menarik bagi investor, baik dalam maupun luar negeri? Karena ada emerging market yang namanya MBG, salah satu menu dari MBG itu adalah susu,” jelas Sudaryono.
Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan nasional, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal, mendorong peternakan mandiri, dan membuka peluang keuntungan bagi petani dan koperasi desa.